dot_exe

ini akuw

bukan sapa-sapa

add aja di Ym edex_noztic@yahoo.co.id

chat sampe pogeeee kiiii

hehehhe

Assalamualaikum…

Untukmu guruku

Master 1 m/s

Coretan digital ini kupersembahkan untuk guru yang telah mendidikku dari SD sampai SMA, untuk guru yang menata isi dari otakku, untuk guru yang membangun pikiranku dan untuk guru yang mengajariku bagaimana cara belajar.

Setiap orang memiliki kharisma tersendiri, termasuk guru. Jika aku mendengar kata guru ada sebuah nama yang tersusun rapi dalam hatiku, sebuah nama yang telah terpendam selama tiga tahun dalam setiap sel dalam diriku. Nama itu telah melekat dalam hatiku, tak pernah hilang dan takkan pernah terhapus oleh waktu, nama itu akan muncul dan terucap ”Drs. Semmauna.”

Pertemuan pertama dalam sebuah ruangan kelas yang biasa saja, tetapi memberi arti yang sangat luar biasa. “Anak-anak, perkenalkan nama saya Drs.Semmauna double M,“ ucapnya dengan suara yang menggema. Ruangan yang tadinya seperti pasar menjadi tenang. Aku terbawa ke dalam alam bawah sadar untuk mencerna nama Drs. Semmauna double M. Kata Drs., aku tahu ini diperolehnya dengan sekolah beberapa tahun di perguruan tinggi, yang sekarang ini seperti Sarjana Pendidikan. Kata Semmauna, aku tahu bahwa nama itu diberikan oleh orang tuanya ketika melahirkan Einsten matematika. Tapi double M atau MM, inilah yang tidak aku mengerti dan tidak dapat kuterjemahkan dalam bahasa pemikiranku, sesuatu hal yang baru kudengar. Apakah MM adalah gelar untuk keturunan raja, tapi beliau sederhana saja seperti kebanyakan orang pada umumnya. Mungkin nama itu diperoleh setelah sekolah di luar negeri yang berarti Master Mathematics, ataukah mungkin saja nama itu juga dihadiahkan oleh ayahnya. Aku masih belum mengerti… Aku baru sadar dan bangkit dari khayalanku yang dari tadi sibuk mendefinisikan arti dari Double M, setelah di papan tertulis dengan jelas Drs. Semmauna, oh ternyata dalam deretan namanya terdapat dua huruf M, itulah maksud dari double M.

Tubuhnya kekar, kuat bagaikan terbuat dari ribuan dimensi tiga yang memang telah dirancang Sang Pencipta. Rambutnya tersisir rapi seperti jutaan deretan bilangan Fibonacci mengikuti gradient garis singgung alisnya. Matanya berbentuk elips dan seakan mata kanan bercermin pada mata kiri sehingga menjadi simetris. Dari bola matanya yang berbentuk lingkaran berwarna hitam, dari lingkaran itu keluar sinar-sinar yang tak memiliki limit, sinar itu tak lain adalah ilmu yang memberi cahaya kepada kami. Cahaya yang tetap abadi. Kulitnya putih bersinar seperti ilmunya yang tetap akan ada sepanjang waktu. Suara dan senyumannya seperti turunan dari Einsten matematika. Kharismanya dalam mengajar tidak pernah redup sedikitpun dan tidak pernah berubah.

Beliau sangat disiplin, mungkin dalam kamus hidupnya kata terlambat telah terhapus. Tidak ada kata terlambat bagi beliau, walau rumahnya terbilang cukup jauh dari sekolah, beliau selalu datang tepat waktu. Ia ke sekolah dengan vespa kuning yang mengkilat bersih. Vespa itu mungkin dianggapnya sebagai vespa yang berbau manusia, sangat terawat. Sudah menjadi rutinitasnya, lima menit sebelum waktu mengajar, beliau sudah duduk di depan kelas. Dalam pikiran hematku, ia telah menghitung dengan teliti setiap detik sampai setiap menit dalam seharinya sehingga selalu tepat waktu. Seperti kebanyakan guru pada umumnya, akan ditemani buku yang menjadi senjata pusaka. Yang berbeda dari dirinya adalah soal matematika. Soal-soal itu seperti makhluk hidup yang selalu mengikuti setiap jejak langkah beliau. Soal-soal itu setia mendampinginya setiap saat, bahkan menjadi bayangannya. Soal yang berumur puluhan tahun sampai soal yang baru lahir pada tahun kemarin. Soal yang siap ditembakkannya dengan kecepatan 1 m/s (bukan satu meter per detik, tapi menurutku satu menit per soal). Dengan kecepatan seperti itu maka tak heran jika dalam satu kali pertemuan, dalam buku catatanku tergores minimal lima puluh soal. Pernah, dalam sehari beliau menembakkan hampir dua ratus soal. Itu bukanlah pemborosan amunisi seperti dilakukan tentara yang menghabiskan uang negara. Bukan juga korupsi seperti pejabat yang membuat negara ini kurus. Tetapi peluru yang telah diisi ilmu. Yang sengaja dibidikkan ke kepala kami. Peluru itu diharapkan mampu menembus setiap sel otak kami, ilmu yang mampu memecah kebodohan yang terkurung oleh tulang-tulang kemalasan. Ilmu yang mampu mengembalikan keperkasaan negara ini yang telah lama hilang.

1 m/s (satu menit per soal) menurut ku sesuatu yang luar biasa, yang hanya dimiliki seorang Einsten matematika, ketika mengajar tangannya lincah seperti sedang menari di papan putih, suaranya menggema sampai ke sudut kelas, tak heran jika beliau mengajar, tak ada siswa yang memejamkan mata, tak ada jiwa yang melayang entah kemana. Tak ada ibu jari yang sibuk menari di atas tombol-tombol benda yang berbunyi tit tut tit. Semua akan sibuk mencatat hasil dari goresan tinta keihlasan beliau di papan. Semua akan memasang telinga dan membuka mata lebar-lebar. Beliau mampu menjadikan kami haus akan ilmu. Tak ada istilah masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Ataukah tidak masuk masuk sama sekali karena membrane timpani telah tersumbat batu kemalasan. Semua mata tertuju pada tariannya di papan putih. Gerakan tangannya yang cepat bak kilat membuat mataku tak berkedip. Dengan memejamkan mata sekejap dan disertai coretan singkat di papan tulis, maka setiap soal akan segera terjawab. Walau pada hari pertama kami belajar matematika seperti balita yang belajar berjalan. Ada yang takut melangkahkan kaki, ada yang beberapa langkah sudah terjatuh, tapi beliau tidak pernah lelah untuk mengajari kami bagaimana cara berjalan sampai berlari dengan cepat. Aku tahu keinginannya menjadikan kami mampu untuk memiliki kecepatan 1 m/s atau bahkan lebih cepat.

Pada hari-hari berikutnya, kecepatan kelas kami rata-rata 3 m/s. Itulah yang terbaik pada saat itu, tapi belum sebaik 1 m/s. Benar kata pepatah, ”jika anda bersama dengan orang pintar maka anda akan ikut pintar, dan bersama dengan orang bodoh akan ikut bodoh.” Aku lebih memilih menjadi bodoh diantara orang pintar daripada menjadi pintar diantara orang bodoh. Dengan bersama beliau, aku berharap dapat mencium asap percepatannya. Tetapi aku yakin, suatu saat bisa untuk berada disamping kendaraannya bahkan berkeinginan untuk bisa melampaui beliau.

Gaya mengajar beliau memang serius, tapi santai. Terkadang diselingi bumbu canda tawa, beliau pernah mengatakan “Anak sekolah sekarang hanya seperti pemain sinetron.” Mungkin beliau melihat anak sekolah sekarang, kebanyakan datang ke sekolah untuk bergaya seperti pemain sinetron, bukan untuk belajar. Ke sekolah bukannya untuk menuntut ilmu, tetapi menjadikan sekolah sebagai ajang memperlihatkan gaya baru yang diadopsinya dari TV. Satu hal yang tetap teringat di benakku ketika dalam kelas, tak ada yang mampu untuk menjawab tantangan beliau. “Sebaiknya aku panggilkan saja anak kelas I untuk mengajari kalian cara berhitung yang benar,” ucapnya dengan tawa sambil senyum kecilnya yang khas. Padahal waktu itu, kami sudah kelas III, bahkan hampir Ujian Akhir Nasional. Pernah juga beliau menunjuk ke gedung hijau di depan sekolah, lalu mengatakan “Sebaiknya kalian masih sekolah di sana.” Nadanya datar diikuti senyuman kecilnya yang khas. Gedung hijau itu adalah tempat anak usia lima tahun untuk bermain, tepatnya disebut TK. Di akhir waktu mengajarnya, beliau memberikan nasehat untuk tetap sekolah apapun yang terjadi. “Banyak orang yang mau membiayai orang cerdas,” katanya dengan nada penuh harapan. Semua yang diucapkannya adalah untaian kata yang menjadi penggerak diriku pribadi. Motivasi yang akan menjadikan seseorang menjadi manusia produktif. Itulah gaya beliau mengajar.

Dulu aku termasuk siswa yang senang terlambat, seperti orang Indonesia pada umumnya memakai jam karet dan kebiasaan itu sulit dirubah. Tapi entah kenapa aku tidak pernah terlambat jika jam pelajaran beliau. Aku merasa rindu akan tembakan soalnya, rindu akan kalimat-kalimat yang menggigit hati untuk terus belajar. Rindu akan tarian tangannya yang lincah di depan kelas. Rindu akan lukisan tinta keihlasannya. Rindu akan nasehat yang berasal dari dalam jiwanya yang mampu memacu jantung untuk terus belajar.

Setelah lulus UAN, nilai rata-rata matematika sekolah sangat memuaskan apalagi di ijazahku duduk berdampingan angka 1 dengan 0 yang tersenyum manis kepadaku seperti sepasang kekasih. Suatu kebanggaan tersendiri dalam diriku. Nilai itu bukan hasil dari bocoran soal atau dari banjiran jawaban dari malaikat yang duduk di singgasana yang takut kalau anak sekolah tidak lulus. Bukan juga dari malaikat sekolah yang takut kalau satu sekolah tidak ada yang lulus sehingga dicap sebagai sekolah yang gagal. Angka itu juga bukan hasil dari SMS dari layar HP seperti yang trend sekarang ini. Dengan mengetik REG spasi UAN nantinya mendapat balasan dari orang cerdas di luar sana. Tentu saja bukan, angka itu adalah hasil dari percepatan 1 m/s. Waktu Seleksi penerimaan mahasiswa baru, teks matematika yang sebagian besar peserta SPMB dianggap sebagai hantu SPMB. Mungkin saja ada yang berdoa semoga tidak ada soal matematika yang muncul pada teks soal. Dimataku kata matematika bukanlah hantu yang menakutkan tetapi menjadi malaikat penolong pada setiap seleksi termasuk SPMB, sekali lagi itu semua adalah hasil dari 1 m/s.

Aku sangat ingin berterima kasih kepada guruku dengan memberikan yang terbaik untuk mereka. Sampai sekarang aku hanya mampu mengucapkan terima kasih, rasa terima kasih telah membuka gembok pemikiranku untuk terus berfikir kedepan, guru yang telah memperlihatkan pintu-pintu kesuksesan. Guru yang telah memberikan kunci untuk menggapai masa depan. Guru yang telah membangunkan jembatan kedunia luar yang terdapat banyak persaingan. Suatu saat nanti,jika aku telah menjadi dokter, aku ingin bertemu dengan Master Matematika, melihat wajah Einsten Matematika lalu mengatakan “Pak, Aku murid Bapak, terima kasih atas 1 m/s.”

selamat Datang di Blog ku

aku baru mulai belajar menulis…

jangan lupa tinggalkan jejak goresan anda pada blok ini…